Breaking News

Mengenal Kebudayaan Pulau Jawa

Berbicara mengenai suku Jawa, yang merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Di tahun 2004 saja, telah tercatat lebih dari 90 juta lebih orang yang bersuku bangsa Jawa. 

Beberapa orang pasti menyangka bahwa yang dimaksud dengan suku Jawa adalah orang-orang yang lahir, mendiami daerah wilayah Jawa Tengah dan menggunakan bahasa ibu bahasa Jawa. 

Padahal, daerah kebudayaan Jawa itu luas, meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. 

Walaupun pada kenyataanya, tetap saja tampak perbedaan karakteristik antara orang-orang yang mendiami daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, dengan orang-orang yang mendiami daerah Jawa Timur. 

Selain suku bangsa Jawa, ada juga subsuku dari suku bangsa ini, yaitu suku osing dan suku tengger.
Di kalangan masyarakat, tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang berusaha untuk menjaga harmoni atau keserasian juga menghindari konflik. Mereka cenderung diam dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari konflik.

Sistem kekerabatan yang digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah Patrilineal, atau menggunakan garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini sama seperti kebanyakan suku di Indonesia, seperti suku Batak.

Dalam kehidupan nasional pun, eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi, mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan, tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa. Mulai dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri Mulyani Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan Michelle Branch, yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun ternyata memiliki garis keturunan orang Jawa.

Peralatan dan Perlengkapan Hidup Suku Jawa
Sebagai suatu kebudayaan, suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. 

Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya rumah tinggal. 

Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku Jawa, diantaranya adalah:
  1. Rumah limasan, 
  2. Rumah joglo, dan 
  3. Rumah serotong. 
Rumah limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini merupakan rumah yang dihunu oleh golongan rakyat jelata. 
Rumah Joglo, umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati sebagai kerangka atau pondasi rumah. 

Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan gedek atau anyaman dari bilik bambu.

Walaupun sekarang seiring dengan perkembangan zaman banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok. 

Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga yang menggunakan genting.

Mata Pencaharian Hidup dan Sistem Ekonomi Suku Jawa
Tidak ada mata pencaharian yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. 

pada umumnya, orang-orang disana bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran yang memang didominasi oleh orang Jawa. 

Selain itu, mereka bekerja pada sektor pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. 

Sektor pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal karena memegang peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti: padi, tebu, dan kapas.

Tetapi orang Jawa juga terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis seperti halnya keturunan etnis tionghoa. 

Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh etnis tionghoa.

Sistem Kemasyarakatan Suku Jawa
Dalam sistem kemasyarakatan, akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa, dikenal 4 tingkatan yaitu:
  1. Priyayi, 
  2. Ningrat atau Bendara, 
  3. Santri dan 
  4. Wong Cilik.
Priyayi ini sendiri konon berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu “para” dan “yayi” atau yang berarti para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang disekitarnya
Ningrat atau Bendara adalah kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama seorang bangsawan tersebut.
Golongan Santri tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan agama, yaitu para santri yang belajar di pondok-pondok yang memang banyak tersebar di seluruh daerah Jawa.
Wong Cilik atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah dalam pelapisan sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai petani atau buruh. 

Golongan wong cilik pun dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:
Wong Baku
Golongan ini adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah orang-orang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan juga pekarangan.
Kuli Gandok atau Lindung
Masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap di tempat tinggal mertua.
Joko, Sinoman, atau Bujangan
Di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih dapat memiliki tanah pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.
Pembagian sosial masyarakat bukan hanya terbagi oleh sistem kebudayaan seperti yang kami tuturkan diatas saja. 

Pada tahun 1960-an, seorang antropolog amerika Cliford Geertz pun mengemukakan pelapisan sosial masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu, santri, abangan, dan priyayi. 

Yang membedakan kaum santri dengan kaum abangan (walaupun mereka sama-sama seorang muslim) adalah, 
Santri
Jika santri adalah para orang Jawa yang dididik dengan dasar agama islam yang kuat (karena banyaknya pondok pesantren yang berdiri di Jawa). 
Abangan
Sedangkan kaum abangan, walaupun dalam pendataan mereka menganut kepercayaan sebagai muslim, namun dalam implementasi sehari-hari mereka lebih mengamalkan ajaran kepercayaan asli yang berkembang di Jawa, yaitu kejawen.
Selain pelapisan sosial masyarakat, dalam sistem kemasyarakatan ini kami akan membahas tentang bentuk desa sebagai kesatuan masyarakat terkecil setelah rt dan rw yang umum ditemui di masyarakat Jawa.

Desa-desa di Jawa umumnya dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. 

Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan nama Pamong Desa. Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan perananya masing-masing. 

Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban desa, sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.

Bahasa Jawa
Bahasa Jawa, sebagai bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa, ternyata di dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.

Terdapat tiga bentuk utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu:
  1. ngoko (“kasar”), 
  2. madya (“biasa”), dan 
  3. krama (“halus”). 
Namun, pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7 (tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: 
  1. ngoko, 
  2. ngoko andhap, 
  3. madhya, 
  4. madhyantara, 
  5. kromo, 
  6. kromo inggil, 
  7. bagongan, 
  8. kedhaton. 
Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk 
  • “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan 
  • “perendahan” (ngasorake, humilific). 
Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. 

Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. 

Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. 

Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.

Selain undhak-undhuk atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara orang-orang Jawa itu sendiri. 

Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3 daerah, yaitu:
Kelompok barat terdiri dari dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. 
Kelompok tengah terdiri dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (Jepara, Demak, Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun.
Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro), Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari

Huruf Jawa
Keberadaan huruf Jawa (juga memiliki kemiripan dengan huruf Sunda, Bali, dan sasak) yang dikenal sekarang ini, tentu tidak lepas dari sejarah yang mengiringinya.

Salah satu cerita tentang sejarah huruf Jawa ini adalah cerita tentang Ajisaka yang pada awalnya mencipatakan aksara Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. 

Aji saka menciptakan aksara Jawa ini pada saat dia sedang berkelana dengan pengawalnya yang setia yaitu Dora, dan sampai di pegunungan kendeng. 

Saat itu dora bertemu dengan Sembada, sahabatnya. Setelah itu, terjadilah kesalah pahaman yang mengakibatkan Dora dan Sembada berkelahi karena masing-masing dari mereka ingin membuktikan siapa dari mereka yang lebih setia kepada aji saka. 

Dan untuk mengenang jasa kedua pengawalnya tersebut, aji saka menciptakan sebuah syair yang kemudian hari menjadi asal mula dari huruf Jawa sekarang ini.

Huruf Jawa atau lebih dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari 20 huruf, dimana setiap huruf nya memiliki makna tersendiri, diantaranya:
  1. Ha – Hana Hurip Wening Suci – adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci.
  2. Na – Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning Gaib – pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.
  3. Ca – Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi – arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.
  4. Ra – Rasaingsun Handulusih – rasa cinta sejati muncul dari rasa kasih nurani.
  5. Ka – Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana – hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.
  6. Dha – Dumadining Dzat kang tanpa winangenan – menerima hidup apa adanya.
  7. Ta – Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa – mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.
  8. Sa – Sifat Ingsun Handulu Sifatullah – membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.
  9. Wa – Wujud Hana Tan Kena Kinira – ilmu manusia hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.
  10. La – Lir Handaya Paseban Jati – mengalirkan hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.
  11. Pa – Papan Kang Tanpa Kiblat – Hakikat Allah yang ada di segala arah.
  12. Da – Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane – Untuk bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.
  13. Ja – Jumbuhing Kawula Lan Gusti – selalu berusaha menyatu, memahami kehendaknya.
  14. Ya – Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang Dumadi – yakin atas titah atau kodrat Ilahi.
  15. Nya – Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki – memahami kodrat kehidupan
  16. Ma – Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi – yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.
  17. Ga – Guru Sejati Sing Mruki – belajar dari guru nurani.
  18. Ba – Bayu Sejati Kang Andalani – menyelaraskan diri pada gerak alam.
  19. Tha – Tukul Saka Niat – sesuatu harus tumbuh dan dimulai dari niatan.
  20. Nga – Ngracut Busananing Manungso – melepaskan egoisme pribadi.
Seperti bahasa lainya, huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam tata cara penggunaanya. Diantaranya adalah adanya pasangan. 

Jika aksara Jawa yang akan digunakan bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan susah untuk menuliskan huruf mati, maka dari itu cara penulisanya digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara Murda. 

Fungsi dari aksara murda ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital pada Bahasa Indonesia. Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.

Selanjutnya adalah Aksara Swara, fungsi dari aksara swara ini adalah untuk menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing untuk mempertegas pelafalanya.

Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan Jawa. 

Di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang tidak mendapat sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a.

Kesenian Suku Jawa
Kesenian yang terdapat dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari tari-tarian, lagu daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada berbagai macam kesenian lainya.

1. Jenis Tari-Tarian Suku jawa
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian.

Seni tari di Jawa sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit. Pada masa sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari, terutama di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.

Seni tari dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
  1. Tari Klasik
  2. Tari Tradisional
  3. Tari Garapan Baru
Beberapa contoh tarian sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari kerajaan Mataram, dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang bertepatan dengan hari penobatan raja atau ratu.
Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.
Pada zaman Sri Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender Jawa.
Tari Srimpi
Tarian ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat penjuru mata angin.
Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau mengambil salah satu bagian dari cerita pewayangan. Dalam pementasanya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang sama atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam tarianya, pakaian yang digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran yang mati dan yang tetap bertahan hidup.
Tari Golek
Tari ini berasal dari Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan KGPH Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910. Tarian ini menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar terlihat lebih cantik dan menarik.
Tari Bondan
Tari Bondan memiliki tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.
Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang. Tarian ini sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya islam, sunan kalijaga menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga lah yang menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco, dan Turas.
Tari topeng sendiri dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat, terutama cerita-cerita panji.
Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang, kencer, dll. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan perang rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.

2. Aneka Ragam Kesenia Suku Jawa
Berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa, baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.

Patolan Atau prisenan
Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah. 

Kesenian ini adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari masing-masing pihak. 

Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di tempat berpasir seperti di pinggir pantai.

Daerah blora dikenal memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang kulit, namun terebuat dari kayu).

Di daerah pekalongan, dikenal kesenian kuntulan dan sintren. 
Kuntulan adalah kesenian bela diri yang dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dll. 
Sintren, yang juga dikenal luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan purnama setelah panen.

Lengger Calung
Kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyumas. Tarian ini terdiri dari lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). 

Gerakan tarianya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama dari calung. 

Beberapa gerakan khas dari tarian lengger adalah geyol, gedhag, dan lempar sampur. 

Dahulu penari lengger adalah para pria yang berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah sebagai pelengkap tarian saja.

2. Alat Dan Musik Suku Jawa
Selain kesenian yang berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian dalam bentuk lain, misalnya saja dalam seni musik. 

Baik berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk lagu-lagu daerah.

Gamelan Jawa
Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa adalah gamelan Jawa. 

Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. 

Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. 

Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. 

Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang, Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak, dan Bedug.

Gamelan Jawa sendiri memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog. 
Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringipertunj ukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain- lain. 
Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat.

Musik
Alat musik khas daerah berikutnya adalah Jula-Juli. 

Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas dari Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.

Sedangkan bentuk kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: 
  1. Bapak Pucung, 
  2. Cublak-Cublak Suweng, 
  3. Gambang Suling, 
  4. Gai Bintang, 
  5. Gek Kepriye, Gundul-Gundul Pacul, 
  6. Lir-ilir, 
  7. Jamuran, 
  8. Kembang Malathe, 
  9. Karapan Sape.
Sistem Penanggalan Suku Jawa
Salah satu bentuk sistem pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk penanggalan atau kalender. 

Bentuk kalender Jawa menurut kelompok, adalah salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh para masyarakat Jawa kuno. 

Karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat. 

Namun tetap dipertahankan penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan.

Karena di dalamnya berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari (sonar/ syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan (lunar/ komariah).

Pada sistem kalender Jawa, terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini, dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. 

Sejarah penggunaan kalender Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung, raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menyebarkan agama islam di pulau Jawa.

Mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan. Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun saka, yaitu tahun 1547.

Dalam sistem kalender Jawa pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa matahari, dan kalender Jawa bulan. 
Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa komariah (bulan) diantaranya adalah:
  1. suro, 
  2. sapar, 
  3. mulud, 
  4. bakdamulud, 
  5. jumadil awal, 
  6. jumadil akhir, 
  7. rejeb, 
  8. ruwah, 
  9. poso, 
  10. sawal, 
  11. sela, dan 
  12. dulkijah. 
Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem matahari. 

Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan. 

Simbol Sistem Religi Kepercayaan Suku Jawa
Agama dan kepercayaan yang berkembang dan dianut oleh masyarakat Jawa, antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain itu terdapat pula agama lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen protestan, yang cukup banyak dianut oleh masyarakat di sekitar semarang, surakarta, dan solo. 

Katolik pun cukup berkembang di kalangan masyarakat Jawa, walaupun persentase nya tidak sebesar agama kristen protestan. 

Di daerah pedalaman pun, berkembang agama hindu dan budha, namun diantara kedua agama tersebut, persentase pemeluk budha jauh lebih banyak dibanding pemeluk hindu.

Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya, adalah kepercayaan yang bernama kejawen. 

Kejawen ini, terkadang bercampur dengan agama islam, sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu kepercayaan baru yang bernama islam kejawen. 

Perbedaan paling mencolok antara islam santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya pada Allah, dan Nabi Muhammad SAW. 

Kejawen dianggap memiliki makna sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. 

pada pandangan umum, kejawen hanya berisi tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang Jawa.

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). 

Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep keseimbangan. 

Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. 

Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.

Simbul Lelaku Suku Jawa
Simbul-simbul laku biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti: keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. 

Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan.

Aliran Kepercayaan Suku Jawa
Selain kejawen, ada beberapa aliran kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:
1. Aliran Kebatinan
Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.
Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya banyak mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. 
Dan dibedakan dengan syariat-syariat islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah terpengaruh unsur budaya hindu-Jawa.
Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. 
Mengapa bisa dikatakan demikian? 
Karena, para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja dewa-dewa dari agama hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa mereka beragama hindu.
2. Aliran Mistik
Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana para penganutnya berusaha mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa menganut agama apapun.

Rangkaian Lelaku (Ritual) Syukuran Suku Jawa
Selain membahas tentang agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat suku Jawa, pada pembahasan tentang sistem religi ini, kami juga akan membahas tentang kepercayaan, dan ritual-ritual yang sering dilakukan oleh orang Jawa.

Upacara Selamatan adalah upacara yang paling umum dan paling dikenal, bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain pun mengadakan selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya, selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu didoakan sebelum dibagikan. 

Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. 

Upacara selamatan dibagi menjadi empat macam yaitu:
  • Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, dimulai dengan upacara nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun tanah, terus berputar hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai dari upacara sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina, sedekah matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.
  • Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi.
  • Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti muludan, malam satu suro, dll.
  • Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu dan bersifat insidentil, seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki, dan saat sembuh dari sakit.
Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu, tempat, dan keadaan tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. 

Tempat-tempat yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan waktu, biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam jum’at kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu, kopi hitam, teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.

Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari benda-benda atau makhluuk hidup tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap kemampuan seperti keris, gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.

Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa baru (juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa, pada bulan sebelum bulan puasa (reuwah/ syaban). Upacara ini diisi dengan acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut melakukan upacara ini.

Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak kecil berumur di bawah lima tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7 rupa. Dari depan rumah sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan selendang berwarna kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan dibimbing menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain. Di dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya, kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari ayam panggang tersebut.

Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal dari Tegal (pantai utara Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti dari prosesi ini adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran raksasa. Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak berbeda dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan handai taulan.

Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan kesialan dalam hidup orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini diperkirakan berasal dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme, tetapi sekarang ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak menyimpang.

Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang dilakukan oleh para penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan perlindungan, keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu.

Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi tasyakuran atau pengucapan syukur ketika moment peringatan terhadap seorang bayi pada usia tertentu.

Malam satu suro adalah peringatan pergantian tahun dalam kalender Jawa. kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada tahun 431 H atau tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak, membuat penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.

Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan untuk keselamatan sang ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam acara ini, para tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam wadah yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa yang bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara dengan tujuan serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.

Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan setelah sang jabang bayi lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang lain di Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau “sedulur kembar” sang bayi tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran bayi yaitu:
  1. Brokohan merupakan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir dengan selamat, diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang baik. 
  2. Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.
Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan pada saat si bayi berumur lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada sore hari dengan acara utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan saudara. Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar, namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.

Puputan sebenarnya memiliki arti “tali puser bayi puput”. Acara ini diadakan pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara ini ada kendhuri, bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya dilaksanakan selepas maghrib.

Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah prosesi selanjutnya. Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, di tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (7×35=245 hari).

No comments