Tradisi Ruwahan Di Masyarakat Jawa
Ruwahan adalah tradisi ritus yang berkembang di masyarakat Jawa dan sekitarnya. Biasanya dilakukan sepuluh hari menjelang bulan puasa. Banyak aktivitas budaya yang dilakukan ketika masuk di bulan Ruwah. Beberapa ritus digelar antara lain nyadran (ziarah kubur), membuat sesaji untuk leluhur, bersih-bersih pemakaman, kenduri, dan lain sebagainya.
Tradisi Ruwahan sudah berlangsung lama dalam kebudayaan Jawa. Bulan yang dipercaya sebagai bulan penuh kesucian dan rasa syukur untuk memasuki bulan puasa. Ruwahan secara harafiah meruapakan bulan ke tujuh dan bersamaan dengan bulan Sya’ban tahun Hijriyah. Secara serapan kata “ruwah” dari kata “arwah”. Maka bulan Ruwah selalu diyakini sebagai bulan yang bagus untuk berelasi secara spiritual dengan leluhur.
Dalam tradisi Jawa yang masih populer saat ini Ruwahan masih dijadikan ajang silaturahmi antar warga atau masyarakat. Setiap keluarga akan membuat ketan, kolak ubi, dan apem. Mereka kemudian membagikan kepada tetangga kiri kanan atau sanak saudara. Ketan, kolak ubi, dan apem dihantarkan ke rumah tetangga. Ketika peristiwa itu terjadi berarti sedang terjadi proses silaturahmi di sana. Bahkan bisa jadi lahir peristiwa saling memaafkan.
Ketan, kolak ubi, dan apem biasanya juga dibuat untuk disajikan sebagai sesaji terhadap leluhur. Ditaruh di meja kemudian dilengkapi dengan kembang setaman, rokok, kopi, teh, air putih, lauk pauk, dan lainnya. Sesaji ini dimaksudkan sebagai makna peringatan terhadap makanan dan minuman kesukaan para leluhur. Mengenang relasi di dalam keluarga yang pernah terjadi bersama leluhur ketika masih sugeng (hidup).
Ketan, kolak ubi, dan apem memiliki simbol pemaknaan khusus. Ketan sifatnya lengket, dimaknai sebagai simbol mempererat tali silaturahmi antar sesama manusia. Kolak ubi karena rasanya manis dimaknai sebagai hubungan atau relasi dalam persaudaraan yang semakin dewasa dan barokah penuh rejeki. Apem dimaknai sebagai ungkapan saling memaafkan jika terjadi kesalahan.
Nyadaran atau ziarah kubur juga memiliki makna yang dalam. Sebagai peristiwa agar manusia selalu mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning dumadi). Nyadran akan dilakukan dengan membersihkan makam dari rerumputan yang tumbuh di seputaran makam. Setelah pembersihan dilanjutkan dengan pembacaan tahlil dan yasin agar manusia selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Konon Nyadran akar katanya berasal dari kata “sradha”. Artinya tradisi yang awal mulanya dilakukan oleh Raja Ketiga Majapahit Nyadran yaitu Ratu Tribuana Tunggadewi saat melakukan doa kepada arwah leluhurnya dan ibunda Ratu Gayatri. Ritus itu dilakukan di Candi Jabo dimana tempat penyimpanan abu roh nenek moyang Ratu Tribuana Tunggadewi.
Ritus tersebut dilakukan lengkap dengan sesaji untuk didermakan kepada para Dewa. Tradisi ritus ini kemudian dilanjutkan oleh Prabu Hayam Wuruk setalah sepeninggal Ratu Tribuana Tunggadewi.
No comments